Sebuah pesan :
"Kok aku ngerasa cuma dijadiin objek kamu doang ya, Nid"
Dia merasa dalam beberapa waktu terakhir, saya hanya mementingkan diri saya sendiri.
Kasarnya, saya menghampirinya saat saya butuh, saya melakukan apa yang saya inginkan lakukan padanya and that's it. Done.
Saya merasa tertampar, karena memang itu semua kenyataan. Saya tidak mampu mengelak ataupun membela diri.
Saya mengakui, saya menjadikannya sebagai objek tanpa memandang kenyamanan dan kebahagiaannya sebagai pasangan saya.
Yang saya pikirkan hanyalah cara untuk memilikinya.
Saya menuntutnya untuk memenuhi ekspektasi saya, untuk bertemu saya tiap minggu, untuk menghubungi saya setiap waktu.
Secara tidak sadar, saya mengisolasinya dari kehidupan sosialnya.
Hidupnya penuh dengan saya, saya, dan saya lagi. Dan saya pun mengabaikan semua keluhan ataupun perasaan tidak nyaman yang dia rasakan.
Puncaknya, ketika dia mengirimi saya pesan:
"Sabtu ini, aku ada futsal disini"
Membaca itu, yang ada di pikiran saya adalah:
"Loh kan dia harusnya sabtu sama aku, kalau dia main futsal nanti ketemunya sebentar. Gak mau!"
Hey padahal itu futsal hey, itu hobinya, itu kebahagiaannya. Dimana seharusnya saya support hobinya, dimana seharusnya saya bahagia melihatnya melakukan hal yang dia sukai.
Entah kenapa, waktu itu saya tidak bahagia. Dan saya menyadari, itu adalah obsesi.
Saat saya menuntut pasangan saya untuk memenuhi ekspektasi yang saya bangun sendiri, dan mengabaikan kenyamanan dan kebahagiaannya, itu bukan lagi cinta tapi obsesi.
Definisi cinta dari Joe (You-2018), yang ternyata adalah obsesi.
And I feel so sorry for him, seharusnya dicintai oleh saya, dia menjadi orang yang paling bahagia. Bukan malah merasa menjadi objek semata. Seharusnya saya bisa menjadi rumah untuk dia "pulang", bukan malah merasa dipenjara.
Saya menyesal, dia bertemu saya disaat saya masih belum bisa mencintai dan memperlakukan orang lain dengan baik.
But, life goes on.
Semoga setelah semua ini, saya bisa menjadi orang yang lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar