Selasa, 14 Januari 2020

PERTARUHAN PASCAL

"Siapa pun yang berpikir jika seseorang duduk di dalam sebuah gereja dapat membuat orang tersebut menjadi orang Kristen, maka dia juga harus berpikir bahwa duduk di dalam garasi dapat membuat seseorang menjadi sebuah mobil."

Dalam teori statistik yang membicarakan tentang konsekuensi membuat kesalahan Tipe I atau Tipe II, ini sebenarnya memiliki "hipotesis nol" atau hipotesis yang menyatakan bahwa sesuatu tidak ada, harus diuji karena sains tidak menerima apa pun sebagai benar sampai terbukti benar.

Kesalahan tipe I terjadi ketika Anda menyimpulkan sesuatu itu benar, padahal itu salah (salah positif).

Kesalahan tipe II terjadi ketika Anda menyimpulkan sesuatu itu salah, padahal itu benar (salah negatif).

Nah, dalam sebuah buku yang diterbitkan secara anumerta, Blaise Pascal berpendapat bahwa semua manusia pada dasarnya sedang bertaruh bahwa Tuhan ada atau Tuhan tidak ada. Secara sederhana, Pascal meminta kita untuk mempertimbangkan pertanyaan tentang eksistensi Tuhan sebagai taruhan.
Dia meminta kita untuk menganggap bahwa kita harus memasang taruhan kita,
walaupun sebenarnya itu tidak opsional. Oleh karena itu, kita harus melihat keuntungan atau kerugian yang melekat pada setiap sisi taruhan.

Percaya Tuhan → Tuhan Ada → Masuk Surga (Untung)
Percaya Tuhan → Tuhan Tidak Ada → Tidak Terjadi Apa-Apa ( Tidak Rugi)
Tidak Percaya Tuhan → Tuhan Ada → Masuk Neraka (Rugi)
Tidak Percaya Tuhan → Tuhan Tidak Ada → Tidak Terjadi Apa-Apa ( Tidak Rugi)

Jadi dari segala kemungkinan seperti diatas maka bisa disimpulkan kalau pilihan yang terbaik dan aman adalah memilih untuk percaya bahwa Tuhan itu ada.
Karena jika Tuhan tidak ada, maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa meski pilihan kita benar atau tidak.
Tapi jika kita memilih bahwa Tuhan itu ada, maka kita bisa mengharapkan surga jika benar atau neraka jika kita salah.

Begitulah cara sebuah taruhan bekerja…

Lantas apakah semudah itu untuk mempercayai Tuhan?

Apakah dengan hanya mengucapkan saya percaya dan "abrakadabra" kita akan masuk surga?

Tentu tidak karena setiap agama memiliki jalan dan ajaran agama masing-masing untuk mencapai tujuan spiritual umatnya. Sekedar percaya akan keberadaan Tuhan juga tidak menjamin kita akan masuk surga, karena kita harus mengikuti semua ajaran-Nya.
Jadi jika kita percaya, maka percayalah dari dalam hati.

Namun, keberadaan agama juga memiliki nilai bias dalam diri seseorang. Kebanyakan dari kita memilih untuk menganut agama yang diwariskan oleh orang tua kita.

Pertanyaan mengenai apakah betul agama tersebut memang pilihan pribadi kita?

Apakah kita pernah bertanya tentang kebenaran pada agama yang lain?

Jawaban yang bias selalu muncul dari pertanyaan-pertanyaan seperti ini, yang selalu berujung pada perdebatan fanatisme gelap mata, tanpa relevansi atas pemahaman Tuhan dan agama itu sendiri.

Maka Agama mana yang paling benar?

Dalam hal ini, Pascal memang terlihat bias, karena dia lebih condong ke Tuhan Kristen.
Sementara kita ketahui bahwa sepanjang zaman ini, ada ribuan agama yang berbeda, yang masing-masing memiliki ide yang berbeda-beda tentang Tuhan.

Beberapa agama ada yang mempercayai bahwa Tuhan lebih dari satu. Jika kita memilih Tuhan yang salah, apakah Tuhan yang lain itu akan marah pada kita? Atau jika kita memilih salah satu dari banyak Dewa yang dipercayai, apakah Dewa yang lain akan memusuhi kita karena tidak memilih mereka?

Dalam hal ini, tentunya kita harus percaya dengan keyakinan yang mutlak. Karena pada semua agama, Tuhan atau Dewa digambarkan sebagai sosok yang maha tahu, yang tidak bisa dibohongi. Kebohongan hanya akan membawa kemurkaan dari Dia, dan surga yang kita harapkan bisa saja tidak akan kita peroleh, melainkan api neraka.

Satu hal yang pasti adalah, bahwa agama membantu manusia untuk bisa hidup saling berdampingan, dengan aturan-aturan kebaikan dari agamanya masing-masing. Agama memang telah terbukti menghilangkan sifat kekerasan dan barbar manusia zaman dahulu, walaupun di zaman modern ini masih sering kita lihat kekerasan atas nama agama, sebagai hasil dari fanatisme buta individu tertentu atas agamanya. Tak ayal, hal ini malah mengakibatkan pertentangan tidak hanya agama satu dengan yang lain, namun bahkan umat dalam satu agama pun masih saling berbeda pendapat. Saling klaim merasa paling benar pun menjadi momok terbaru zaman sekarang.

Di beberapa belahan dunia, saling tuding antara beberapa agama sering mengakibatkan jatuhnya korban manusia, entah korban tersebut terlibat langsung atau hanya korban tak bersalah. Dan manusia-manusia yang merasa menguasai agama itu (...,yang bahkan terkadang terdengar melebihi kuasa Tuhannya sendiri) sering men-suci-kan kekerasan dengan menggunakan perjuangan atas nama agama.

Apakah hanya karena mempercayai Tuhan membuat manusia menjadi lebih baik?

Kebanyakan orang, terlepas apakah mereka percaya pada keberadaan Tuhan (atau Dewa atau Dewi) memiliki moralitas yang baik karena mereka percaya bahwa kebajikan memiliki ganjarannya sendiri.

Ini sama seperti jika anda berbohong, mencuri, menipu, anda akan merasa buruk tentang diri anda sendiri dan takut pada konsekuensi bahwa anda akan terisolasi dan dijauhi dalam kehidupan sosial.

Hati nurani cenderung lebih berperan besar dalam membuat seseorang bermoral lebih baik. Selain itu, ada hukum perdata yang menjaga kecenderungan negatif di antara mereka yang tidak memiliki moralitas inheren yang memadai.

Hukum kita tidak berdasarkan dari agama. Hukum kita sudah ada sejak zaman dahulu. Uraian tentang hukum perdata yang pertama kali diketahui adalah naskah "The Code of Hammurabi" dari Babel, yang berasal dari tahun 1754 SM.

Dan kini, selain dari aturan agama, manusia juga tetap membutuhkan hukum manusia untuk mengatur hubungan moralitas dalam berkehidupan.
Jadi, memiliki agama dan percaya pada Tuhan tidak menjamin seseorang tidak akan menjadi pemerkosa, seorang pembunuh, ataupun seorang pencuri. Demikian juga sebaliknya bahwa tidak memiliki agama ataupun tidak percaya pada Tuhan bukan berarti menjadikan seseorang menjadi pemerkosa, pembunuh, atau pencuri.
Dunia saat ini sudah mengenal banyak tokoh Atheis, dan seperti kebanyakan orang yang percaya, tokoh-tokoh atheis tersebut juga adalah orang-orang yang taat hukum dan bermoral. Memang ada beberapa atheis yang bukan orang baik (dan juga sebaliknya), tetapi perilaku buruk mereka tentunya tidak relevan dengan non-keyakinan mereka.

Pada akhirnya, sebuah pertanyaan rasionalitas muncul, tentang seseorang pantas disebut menjadi manusia bermoral yang lebih baik hanya karena takut akan hukuman, entah itu hukum manusia atau hukum agama, dan bukan karena hati nurani?
Sekali lagi, bukankah doktrin semua agama mengatakan agar berbuat baiklah pada sesama kita umat manusia dengan tulus?

Jadi apakah Tuhan akan menghukum orang yang tidak percaya pada-Nya?

Christopher Hitchens (1949-2011) adalah seorang penulis terkenal dan atheis. Pada suatu perdebatan publik dengan seseorang yang beragama kristen, dia ditanya mengenai apa yang akan dia katakan jika dia menemukan bahwa setelah kematiannya ternyata Tuhan memang ada dan dia lalu dibuang ke neraka sebagai hukuman atas dosanya yang tidak percaya.

Hitchens menjawab, “Saya akan mengatakan, mengapa Tuhan tidak memberikan bukti yang cukup tentang keberadaan-Mu? Mengapa Tuhan memberi kami sebuah alasan, yang ternyata tidak bisa kami pergunakan untuk membuktikan keberadaan-Mu?” Dengan kata lain, Hitchens tidak percaya kalau Tuhan yang disebut maha adil akan menghukum seseorang karena tidak percaya.

Sebaliknya, Apakah kita juga merasa sulit untuk percaya bahwa Tuhan Allah yang adil dan maha pengasih akan menghukum seseorang yang telah menjalani kehidupan dengan baik, dan menyayangi sesama umat manusia (baik yang percaya pada Nya ataupun tidak) hanya karena tidak percaya pada keberadaan-Nya?
Dalam hal ini, ketidak percayaan itu muncul sebagai akibat dari keterbatasan manusia itu sendiri dalam usaha membuktikan-Nya.

Dan mungkinkah Tuhan lebih memaafkan mereka yang telah melakukan pembunuhan atau kekerasan dengan membawa-bawa nama agama atau Tuhannya sendiri? Apakah itu tidak terdengar sangat egois?

Beberapa agama ada yang mengatakan bahwa kita tidak bisa masuk surga jika tidak menerima dan beribadah melalui agama mereka.

Terdengar gampang bukan?

Hanya dengan memeluk dan beribadah dengan agama tersebut maka akan langsung masuk surga, dan ironisnya, semua orang yang mengatakan hal tersebut semuanya adalah orang-orang yang belum pernah ke surga.

Pilihan ada pada diri kita sendiri

Tulisan Pascal tentang pilihan taruhan ini diterbitkan setelah kematiannya. Dan argumen tentang tulisannya tersebut juga telah menjadi perdebatan diantara kalangan yang percaya dan tidak percaya.

Ada baiknya bahwa pilihan tentang taruhan ini dianggap sebagai bahan refleksi pada tingkat keyakinan diri kita sendiri.

Bukankah hal yang baik akan datang kepada mereka yang "mencari" dibandingkan dengan mereka yang hanya "diam berpasrah diri" saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

APA YANG TERJADI JIKA ADA BLACK HOLE SEBESAR 2 CM DIDEPAN KAMU?

Habis saya. Hancur. Binasa. Lenyap. Tentu saja bukan hanya saya yang akan terkena dampaknya, tapi juga planet Bumi. Ini jelas  Skenario Kiam...