Menurut saya ini merupakan salah satu tren menyebalkan dari wisata Indonesia yang menjamur di setiap sudut nusantara sepuluh tahun terakhir.
Pada mulanya memang beberapa objek wisata mengambil inspirasi dari huruf-huruf raksasa "Hollywood" atau tulisan ikonik "I Amsterdam" yang menjadi favorit berfoto wisatawan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, konsep tadi menjadi overused (digunakan secara berlebihan) dan bermunculan di mana-mana, sehingga membuat kesan berantakan dan "tidak natural" di lokasi-lokasi yang sebenarnya ikonik.
Bahkan lama-kelamaan huruf-huruf raksasa digunakan untuk menandai objek-objek yang sebenarnya tidak perlu ditandai.
Misalnya, untuk menandai sawah.
Atau untuk menandai ujung sungai.
Atau untuk sebuah bukit random.
Tujuan dari huruf-huruf ikonik ini sebenarnya sudah jelas : mendongkrak kunjungan wisatawan dengan memenuhi hasrat pengguna Instagram.
Selain itu, hampir tidak ada manfaatnya.
Sebuah konsep yang menarik bolehlah dituangkan ke ekonomi kreatif namun ketika konsep tersebut digunakan secara berlebihan, maka yang terjadi adalah wisata yang membosankan, tidak alami, dan malah jadi terkesan generik.
Misalnya, terakhir saya ke Dieng, di sana terdapat selusinan aksara kayu bertuliskan Dieng, Kawah Sileri, Aku Nang Dieng, dan lain-lain yang dibangun masyarakat lokal sebagai objek foto dengan imbalan sejumlah uang. Hasilnya, tempat-tempat ikonik tersebut malah jadi terkesan kotor dan murahan.
Apalagi jika sampai ada belasan tulisan raksasa di satu destinasi wisata.
"Sudah jauh-jauh ke sini, kamu nggak foto di depan tulisan itu?"
"No, thanks."
Saya tidak tahu bagaimana dengan Anda. Tapi bagi saya pribadi, sudah saatnya kita menyatakan perang melawan huruf-huruf besar ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar