Senin, 13 Januari 2020

WILMINTOKMABEL

Apa yang terjadi di Wamena itu kriminal, bukan politik, bukan sentimen agama. Begitu kata para pejabat.

Nanya dong ; pigimana misahin kriminalitas dengan politik dan sentimen agama? Sejauh mana sebenarnya kita sebagai bangsa sudah mampu mengkotakkan sebuah peristiwa hanya pada satu dimensi tanpa memberi ruang bagi dimensi lain untuk menjadi bingkai peristiwa itu?

Di Papua, lebih 30 tahun lalu, buku yang pertama saya baca adalah Kargoisme di Irian Jaya, karangan Benny Giay. Ini, buku soal cargo cult, sebuah praktek religius pada masyarakat pra-industri. Sebabnya sederhana, interaksi dengan masyarakat yang "peradaban" dan teknologinya lebih maju. 

Di blognya, Muhidin M. Dahlan menulis ;
"Kargoisme identik dengan kapal besar pembawa apa saja yang menjadi simpul pengharapan. Pengharapan dalam cargo cult itu terejawantahkan dalam pemimpin religius (kanoor), doa, nyanyian, upacara (wor), dan motif ukir hingga era koreri tiba, yakni zaman bahagia.

Dalam arena politik, koreri adalah antitesis dari ideologi baru yang mengancam kehidupan kultural masyarakat Papua. Sejak 1938, koreri dan kargoisme menggelar perlawanan terhadap tangan-tangan fasis Jepang hingga perang gerilya Organisasi Papua Merdeka di gunung-gunung diserukan.

Kargoisme yang mengimpikan kehidupan berkecukupan, kan kondo mob oser, tak ayal lagi melahirkan tokoh mitologi yang bernama Mansren Manggundi, sang penguasa suci. Kedatangan Mansren yang kerap disebut “manakmakeri” (manusia berkudis) adalah pengharapan ketika negara bahagia dan merdeka kelak datang.

Negara bahagia dan merdeka itulah yang menjadi tujuan etis dan sekaligus kerangka ekonomis-politis yang melahirkan pembangkangan berkepanjangan di Papua. Termasuk Gerakan Kelompok Doa Farkankin Sandik yang menjadi penyumbang terbesar resistensi masyarakat Papua terhadap solusi kekerasan dan ekonomi-korup dari pemerintah pusat.

Panjang umurnya perlawanan itu terkait dengan watak kultural yang mengendap dan mengapung-apung kuat di bawah sadar masyarakat tentang model negara bahagia.

Model negara bahagia yang kelak dibawa kapal kargo itu antara lain ekonomi yang mencukupi keluarga, kepemilikan atas tanah dan belantara, kesempatan bebas memperoleh pendidikan dan kesehatan yang layak, kedamaian dan keamanan hidup, serta terhentinya serangkaian penangkapan-penangkapan sebagaimana terjadi dalam negara militer."

Cargo cult sebenarnya bisa dengan mudah menjelaskan mengapa ada pemimpin yang sangat dihormati dan ada pemimpin yang sangat dibenci. Pada masyarakat pra industri, tujuan dan cara hidup adalah material, buka struktural, bukan pula konseptual. Material, sesederhana itu.

Namun bahkan masalah "material" yang sederhana pun perlu dibingkai dengan bijaksana. Dan jika ucapan-ucapan pejabat negara ini sudah mencerminkan ketidakmampuan itu, apa yang terjadi di Wamena dan banyak tempat lain di Republik ini, hanya tinggal menunggu waktu. 

Yang saya ingat tentang Wamena adalah udaranya yang dingin, koteka, saali, potong jari, bakar batu dan Wilmintokmabel. Jika pemimpin di sebuah negara dengan 300 grup etnis dan 700 bahasa tidak mampu merasakan itu dalam konteks materi yang murni... kita mungkin akan kehilangan Wamena. Dan Papua. Juga Indonesia. Sebab, meski manusia adalah materi dan jiwa, hanya materilah yang tersisa.

Jiwa kita, sudah hilang sejak lama... 😢

#BePrepared
#ForEverGolPut

Sumber : Wendy Danoeatmadja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

APA YANG TERJADI JIKA ADA BLACK HOLE SEBESAR 2 CM DIDEPAN KAMU?

Habis saya. Hancur. Binasa. Lenyap. Tentu saja bukan hanya saya yang akan terkena dampaknya, tapi juga planet Bumi. Ini jelas  Skenario Kiam...