Kita cenderung mengikat diri pada orang-orang yang memberi kita batasan gerak dan berpikir, dan hidup bersama mereka meski tahu bahwa nalar mereka dalam memperlakukan kita demikian bercela atau tidak masuk akal, demi bertahan hidup.
Kita lebih memilih batasan-batasan yang kolot, tidak rasional, dll asalkan kita mendapat 'semacam' perlakuan baik seperti diberi makan dan tempat tinggal yang layak. Batasan-batasan ini kita bangun dalam pikiran sebagai sesuatu yang familiar dan suportif/mendukung, menerima kita secara sosial dan menampung kita selama kita menuruti aturan dan norma yang mereka ciptakan.
Akhirnya kita menjadi orang yang tidak pintar berkomunikasi. Cela dan agresi yang sebenarnya manusiawi lebih suka kita sembunyikan untuk menghindari hukuman dan konsekuensi sosial lainnya. Pikiran-pikiran yang menentang atau mempertanyakan 'penyekap' kita, kita bantah dan gantikan dengan rasa bersalah, hutang moral, bakti normatif maupun relijius, dsb.
Dalam psikologi, hal ini disebut Stockholm Syndrome. Fenomena psikologis ini pertama kali diamati pada tahun 1973 ketika terjadi perampokan dan penyekapan sejumlah orang di sebuah bank di Stockholm.
Stockholm syndrome is a condition that causes hostages to develop a psychological alliance with their captors as a survival strategy during captivity.
These alliances, resulting from a bond formed between captor and captives during intimate time spent together, are generally considered irrational in light of the danger or risk endured by the victims. The FBI's Hostage Barricade Database System and Law Enforcement Bulletin shows that roughly 8% of victims show evidence of Stockholm syndrome.
Stockholm syndrome - Wikipedia
Lokasi perampokan dan penyekapan pada tahun 1973 di Stockholm, Swedia.
Setelah dibebaskan, para sandera menolak bersaksi melawan para penyekap mereka. Dengan alasan mereka diperlakukan dengan baik dan manusiawi selama penyekapan.
Kita tampaknya cenderung berpegangan pada kebaikan-kebaikan kecil dari orang-orang yang 'menyekap kita', menghibur diri dengan mimpi bahwa suatu saat situasinya akan lebih baik, bahwa para 'penyekap' kita suatu hari akan mambangun bagi kita kehidupan dan hubungan yang lebih terbuka secara intelektual, bersahabat, rasional dan adil.
Meskipun itu semua tidak berubah selama bertahun-tahun kamu hidup bersama mereka.
“BUT THIS IS MY HOME…” kata orang dalam komik itu ketika menolak dibebaskan oleh polisi. Dia sudah terlanjur menerima dan terikat secara psikologis pada basement dimana dia disekap untuk waktu yang lama.
Stockholm Syndrome terjadi setiap hari. Kita hidup dengan ilusi 'pilihan'. Meski kenyataannya kita hanya diperas untuk menyenangkan suatu sistem.
Itulah gunanya kreativitas dan otonomi pribadi.
Sejak dulu Kontjaraningrat sudah menyadari dan memberi pesan pada orang Indonesia untuk menghindari mentalitas yang menghambat pembangunan.
Mentalitas yang orientasinya mengarah pada orang yang berpangkat tinggi, senior, dan orang-orang tua, sehingga hasrat untuk berdiri sendiri dan berusaha sendiri masih lemah.
Seperti rendahnya disiplin pribadi yang murni, orang cenderung taat jika ada pengawasan dari atas. Juga mentalitas yang selalu menunggu restu dari atasan.
Sistem sosial budaya Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rumusannya sudah ada sejak dulu, tentang bagaimana kita bebas dari segala bentuk penjajahan penghambat produktivitas. Karena itulah hari ini kita harus mempelajari apa yang terjadi pada diri kita sendiri secara lebih terkonsentrasi dan akurat, untuk membebaskan diri dari Stockholm Syndrome yang sudah terlampau dianggap normal dan menjadi model pengasuhan dan pengelolaan sumber daya manusia yang tidak adil, namun sedihnya the most popular.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar