Tjoe Tong Hin, Liem King Hien, Lie Tiang Pik, Tjan Tok Gwan, Tan Thoan Kie, Pwa Tjing Hwie, Tan Bing Bo, Sie Glimbong alias Sie Tjwan Liat, Liem Thaij Thjwan dan Lie Eng Hok, adalah orang-orang Tionghoa yang dibuang ke Tanah Merah, Digul, karena terlibat pemberontakan ke Pemerintah Hindia Belanda 1926. Pemberontakan 1926 itu pemberontakan yang mempertemukan faksi komunis dengan faksi tarekat muslim karena kesamaan kepentingan, dirugikan oleh investasi pemodal yang disponsori pemerintah kolonial. Makanya jangan heran, yang dibuang ke Digul adalah campuran orang Tionghoa dan orang-orang Sumatera Barat lalu Banten, karena pemberontakan meledak di Minang, Silungkang, dan Banten.
Jauh sebelum itu, orang-orang Tionghoa yang tinggal di Batavia sebagai pekerja migran pernah dibantai juga oleh serdadu bayaran Perusahaan VOC, 1740. Selama 13 hari, ribuan orang Tionghoa dibantai tentara Belanda. Tidak kurang dari 10 ribu jiwa melayang dalam tragedi yang terkenal dengan nama Geger Pecinan itu. Tindakan keji Belanda itu merupakan puncak masalah kependudukan di Batavia. Orang-orang Cina dan peranakan merasa resah karena Gubernur Jenderal VOC saat itu, Adriaan Valckenier, memberlakukan kebijakan keras untuk mengurangi populasi etnis Cina di Batavia yang saat itu dianggap sudah terlalu banyak.
Geger Pacinan ini memicu Perang Jawa I ( 1741–1743), yang sebenarnya ikut mematangkan situasi di Kasunanan Kartasura, yang sebenarnya juga sudah panas. Beberapa ribu orang pasukan Tionghoa dari Batavia yang selamat yang dipimpin oleh Khe Pandjang pergi ke Semarang, Keraton Pakubuwono II, Sunan Mataram, memilih mendukung orang Tionghoa untuk sementara waktu sambil berpura-pura membantu VOC. Dalam waktu yang bersamaan, banyak imigran Tionghoa yang datang ke Lasem untuk mengungsi. Dari titik Lasem berkobar pemberontakan melawan Kompeni VOC oleh gabungan pasukan Jawa-Tionghoa, warga Lasem mengangkat tiga pemimpin pemberontak bernama Panji Margono, Oei Ing Kiat, dan Tan Kee Wie . Semua pemberontakan ke VOC ini berakhir kegagalan, dan mengubah kebijakan politik rasialis pemerintahan Belanda saat VOC bangkrut dan asetnya diakuisisi.
Jadi bisa dilihat bukan, jika sampai orang Jawa dengan orang Tionghoa bisa berkomunikasi dengan baik, kawin mawin, itu memang merugikan pemodal kolonial, baik itu VOC maupun Pemerintah Hindia Belanda. Makanya timbul politik segregasi rasial yang fungsinya adalah membelah kekuatan berbasis ras dan agama, dan itu memang hak pemerintah dong, karena mereka kepentingannya kan eksploitasi dan eksplorasi SDA, bukan buat meningkatkan kualitas manusianya, dan ini kejadian juga lebih parah di Timur Tengah lalu India-Pakistan-Bangladesh yang dikuasai Inggris. Undang-Undang Kolonial 1854 menanamkan pemisahan rasial dalam 3 tingkatan status sosial, yakni Europeanen atau orang-orang kulit putih Eropa, Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) yang meliputi orang (peranakan) Cina, Arab, India, maupun non-Eropa lainnya, dan Inlander atau pribumi, yang kemudian diidentikkan dengan masyarakat lokal (ras Melayu), terlebih yang beragama Islam. Jadi kalau masih ada yang meneriakkan slogan 'Pribumi' untuk identifikasi pembeda etnis, sebenarnya itu benar-benar menjiwai peran sebagai orang terjajah, karena itu slogan strategi Pemerintah Hindia Belanda.
Sebenarnya pun, kalangan muslim yang bersikap menantang pemerintah koloni waktu itu juga kebanyakan dari kalangan tarekat sufi, yang basisnya adalah orang-orang Melayu dan Jawa pedalaman atau pesisir, sedangkan muslim dari golongan Arab mendapatkan keistimewaan yang dilindungi payung hukum legal . Pakar Islam Snouck Hurgrondje yang menjadi penasehat Van Heutz saat Perang Aceh dan saat Van Heutz jadi gubernur jenderal, dibantu oleh ulama Islam dari kalangan aristokrat lokal dan keturunan Arab (alawiyin). Snouck sendiri beristri dua, dari dua pemuka agama Islam kalangan aristokrat Sunda, yaitu Sangkana anak penghulu dari Ciamis, Raden Haji Muhammad Ta'ib dan Sadijah anak dari penghulu Bandung bernama Raden Haji Muhammad Sueb alias Kalipah Apo .
Perlawanan terkenal dari kalangan tarekat adalah Cilegon 1888, yang ikut disebabkan oleh meletusnya Krakatau 1883. Sebagian besar nama-nama yang memimpin dikenang sebagai ulama kharismatik semacam Tubagus Ismail dan Haji Wasid. Kegagalan rangkaian pemberontakan ini berlanjut sampai meledaknya 1926, saat orang muslim tarekat bertemu dengan orang komunis, karena kesamaan lawan.
Sebenarnya tidak semua orang awal kemerdekaan punya gagasan nasionalisme yang sama lah, ada yang maunya basis kesukuan, ada yang basisnya agama, ada juga yang maunya akur sama koloninya jadi persemakmuran. Kalaupun pada akhirnya gagasan nasionalisme ala Soekarno yang membawa basis kesamaan 'pernah dijajah bersama' itu yang dominan, bukan berarti gagasan lain itu hilang, cuma melemah saja.
Golongan Tionghoa yang mendukung kemerdekaan tidak mudah buat bergabung ke faksi nasionalis yang masih punya sentimen ras, atau faksi agama yang dominan dianut oleh orang Jawa, Melayu, dan Bugis-Makasar. Yang bisa menampung adalah faksi komunis, dan ini bakalan memicu letupan-letupan lain berikutnya, apalagi setelah peristiwa 1966 itu.
RRT sendiri kan baru diproklamirkan 1 Oktober 1949, lebih duluan NKRI yang 17 Agustus 1945. Cuma mereka itu kan mengalami perang saudara berkepanjangan antara golongan nasionalis lawan komunis dari 1927 ke 1949 (ingat kan pemberontakan PKI 1926 di Hindia Belanda?). Dan nasionalisme di kalangan orang-orang Tiongkok pun dimulai bersamaan dengan ide nasionalisme di negara lain, di akhir tahun 1800-an, ini bersamaan juga dengan orang-orang di Hindia Belanda.
Lalu kenapa seolah-olah peran orang-orang Tionghoa direduksi menjadi hampir tidak ada? Kemungkinan besar itu karena kebijakan Orde Baru, yang cenderung mendekat ke Amerika Serikat dan sekutunya untuk aliran investasi dan hutang luar negeri (permodalan). Orientasi perang melawan komunis, kecenderungan PKI Aidit ke Poros Peking (bukan Soviet), banyaknya orang Tionghoa jadi loyalis Soekarno, membuat Orde Baru sengaja mereduksi sejarah peran orang-orang Tionghoa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar