Selasa, 14 Januari 2020

MANUSIA BERACUN = TOXIC PEOPLE

Omong-omong soal toksik…

Aku ingin menggunakan pendekatan yang agak berbeda mengenai topik ini. Maaf bila kurang tepat.

Di salah satu episode Rick and Morty: Rest and Ricklaxation, karakter titular Rick dan Morty sempat merasa letih dengan petualangan mereka yang bertubi-tubi dan membebani fisik dan mental mereka.

"I can’t fucking do this anymore!"

"That was seriously fucked up. We almost died."

Oleh karena itu, mereka mengunjungi sebuah spa di luar angkasa (pastinya) dan memutuskan untuk men-detoksifikasi diri mereka. Luar dan dalam.

Hasilnya?

Rick dan Morty keluar dari spa tersebut, benar-benar ter-detoks secara harfiah, fisik, dan mental. Rick menjadi super baik dan sopan, dan Morty menjadi super percaya diri dan teguh pendirian.

Namun, ternyata mesin detoks tersebut tidak benar-benar membersihkan, melainkan sekadar memisahkan Rick dan Morty menjadi masing-masing dua entitas yang terpisah (untuk sementara, kita sebut entitas Detox dan Toxic). Detox Rick dan Detox Morty meninggalkan spa tersebut dengan nyaman, sementara versi toxic mereka terjebak di dunia lain.

Toxic Rick adalah karakter yang angkuh, pendendam, serta curang, sementara Toxic Morty penakut, pengekor, dan membenci dirinya sendiri. Toxic Rick, murka dengan nasib yang menimpa mereka di dunia toksin, memaksa Toxic Morty untuk ikut merencanakan balas dendam kepada dunia dan membuat segala hal menjadi toxic seperti mereka, yang menjadi plot dari episode ini.

Bila diperhatikan, Detox Rick adalah versi Rick yang sopan, penyayang, sama sekali tidak alkoholik, dan memiliki moral.

Adapun Detox Morty adalah Morty yang kini menjadi penuh percaya diri, tidak lagi gagap, dan populer di kalangan teman-temannya.

Namun, di akhir episode, kita mendapati bahwa toh Detox Rick memutuskan mereka harus fusion kembali dengan diri Toxic mereka.

Mengapa begitu?

Karena mesin detoks di spa alien tersebut tidak memiliki kriteria atau standar mengenai mana yang toksik, mana yang bukan. Ketika memasuki ruang detoks tersebut, Rick dan Morty dibersihkan dari persepsi alam bawah sadar mereka tentang apa yang toksik, apa yang mereka anggap sebagai kelemahan. Karena itu, self-diagnosis yang menjadi cara kerja mesin tersebut amatlah riskan dan berbahaya.

Ternyata, di balik sikap Toxic Rick, dia menyimpan rasa keterikatan (attachment) dengan Morty. Detox Rick tidak memiliki belas kasihan sedikit pun ketika Morty kesakitan, dan dia menyadarinya bahwa hal itu berarti bahwa Toxic Rick-lah yang memiliki kepedulian tersebut..

Selain itu, di balik sikap supelnya Detox Morty, dia menyimpan egoisme dan tidak memiliki nurani. Ketika diminta Rick untuk merge kembali dan menjadi dirinya yang semula, Detox Morty memilih kabur dan menjalani hidupnya sendiri, a la Wolf of Wall Street…

… sebelum akhirnya dijebak Rick dan kembali menjadi dirinya sendiri.

Episode berakhir di sini. Rick dan Morty kembali ke jati diri mereka yang semula, menerima seluruh sisi karakter mereka, termasuk sisi gelap, eh sisi toksik mereka.


Kenapa aku menceritakan episode film kartun anak-anak ini?

Karena, menurutku aku episode ini amat bagus untuk menjadi kritik atas konsep kita tentang toxicity.

  1. Toxicity itu subyektif. Hanya kita sendiri yang dapat menentukan apa yang toksik dari diri kita sendiri. Pandangan kita tentang orang toksik, adalah menurut pandangan kita sendiri juga. Toxicity adalah sifat yang tidak kita sukai, benci, dan inginkan untuk lenyap dari diri kita. Tentukan standarmu sendiri.
  2. Selama ini, kita hanya berfokus pada toxic negativity, namun mengabaikan toxic positivityMemang benar, menghilangkan rasa iri, dengki, nyinyir, skeptis itu bukan hal yang salah. Namun, apakah menjadi orang yang super optimis, inisiatif, dan terlalu ramah adalah hal yang benar-benar kita inginkan?
  3. Tanpa naluri untuk berbuat negatif, kita tidak menjadi manusia seutuhnya. Tanpa nafsu buruk, kita berubah menjadi malaikat yang membosankan. Mungkin segalanya menjadi lebih mudah bagi kita, namun kehidupan yang lurus-lurus saja tidak selalu berarti baik-baik saja.

Bukannya aku ingin membela 'the so-called toxicity', tapi jujur, aku lelah dengan narasi yang bersliweran di media sosial, di koran, di sekelilingku.

"Yuk, Kenali Ciri-Ciri Hubungan Toksik"

"Hindari Orang-Orang dengan Ciri-Ciri Toksik Berikut Ini"

Ketika berbincang dengan teman-teman atau kenalan, tak jarang keluhan seperti "Duh, pacarku toksik banget deh. Masa…", "Aku tidak tahan lagi tinggal dengan keluargaku yang toksik. Aku kan cuma ingin…"

Everyone has a problem, I get it. It's okay to vent.

Namun, mengidentifikasi permasalahan dengan istilah "toxic" nampaknya sering menjadi langkah satu-satunya dan paling populer yang kita ambil. Di zaman yang serba instan ini, kita pun memilih solusi psikologis yang instan.

Step 1: Labeli sesuatu dengan kata "toxic"

Step 2: Jauhi! Putuskan hubungan! Cut them off! Cancel culture!

Step 3: Selamat! Masalahmu selesai!

Namun, kenyataannya tidak semudah itu, 'kan?


Saatnya menjawab pertanyaaan:

Bagaimana kamu mengetahui seseorang itu 'beracun' (toxic people)?

Tunjuk satu orang secara acak. Siapa saja. Kemungkinan besar, orang tersebut memiliki toxic trait atau sifat toksik, dan itu manusiawi. Mungkin dia terlalu optimis hingga mengabaikan bahwa dia punya privilese. Mungkin dia terlalu pesimis sehingga dia menurunkan semangat orang-orang di sekitarnya. Mungkin dia terlalu netral sehingga tidak bisa diajak untuk menciptakan perubahan.

Kemungkinan besar, tanpa perlu pendapat dari kita pun, orang tersebut memiliki hal yang tidak dia sukai dari dirinya. Hal yang ia benci dari dirinya. Hal yang dia anggap… toksik.

Sartre dalam naskah dramanya, menulis "L'enfer, c'est les autres." Hell is other people.

Menurutku, hal ini berlaku juga untuk sifat beracun. "Toxicity is other people". Ketika aku hidup sendiri, misalnya, tidak ada pengamat yang bisa berkomentar betapa beracunnya diriku, karena memang tidak ada pembanding. Sifat toksik, seperti halnya konflik, adalah hal wajar yang timbul karena interaksi dengan manusia lain.

Jadi, harus bagaimana?

Ini agak ekstrem, tapi menurutku, dengan menurunkan ekspektasi, alias menerima fakta bahwa semua orang bisa saja beracun, hal itu akan membuat semuanya menjadi ringan. Tidak ada orang yang tidak toksik. Dunia memang tidak sempurna. Diri kita sendiri pun sama halnya.

Orang yang tidak kamu sukai, belum tentu toksik. Mungkin bagi dia, kamu yang toksik. Atau ternyata kalian berdua sama-sama toksik. Untuk apa dipusingkan? Pada akhirnya, semua hubungan itu hanya perkara cocok-cocokan saja.

Ketimbang mengurusi sifat beracun orang lain, yang tidak ada habis-habisnya, bukannya lebih mudah mengontrol diri kita sendiri? Menurunkan ekspektasi, menjaga emosi, menjadi stoik, menjadi lebih mindful.

Lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

APA YANG TERJADI JIKA ADA BLACK HOLE SEBESAR 2 CM DIDEPAN KAMU?

Habis saya. Hancur. Binasa. Lenyap. Tentu saja bukan hanya saya yang akan terkena dampaknya, tapi juga planet Bumi. Ini jelas  Skenario Kiam...