Indonesia pernah punya pahlawan keturunan Korea. Tak hanya keturunan Belanda, Jepang, Tionghoa, Arab, India, dan Prancis saja yang memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia. Namun juga dari berbagai negara lain, termasuk Korea.
Nama aslinya adalah Yang Chil-seong (양칠성).
Ketika Jepang menguasai Korea, Chil-seong bergabung dengan tentara Jepang dan ditugaskan untuk mengawal keluarnya pasukan sekutu di Bandung. Perang Dunia II pungkas dengan kekalahan Jepang. Mayoritas tentara Jepang pulang ke negaranya namun Chil-seong memilih untuk menetap di Bandung dan menikah dengan warga setempat, kemudian mengambil nama Komarudin.
Belanda yang berusaha mengambil kembali nusantara, masuk ke Jawa sepulangnya pasukan Jepang. Namun usaha Belanda tadi menghadapi resistensi dari masyarakat Indonesia yang merasa telah merdeka. Komarudin memutuskan bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Garut dan turut di dalam membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Selain Komarudin, ada beberapa serdadu lain yaitu Guk Jae-man (alias Soebardjo), Woo Jong-soo (alias Adiwirio), dan Lee Gil-dong (alias Oemar).
Di antara mereka juga terdapat bekas tentara Jepang yang ikut bergabung dengan Indonesia, seperti Hasegawa (alias Abubakar) dan Masahiro (alias Usman).
Komarudin turut terlibat di dalam pertempuran Bandung Lautan Api dan berjasa di dalam menggagalkan usaha Belanda mengebom Jembatan Cimanuk di Garut.
Sesuai kesepakatan Perjanjian Renville tahun 1948, Divisi Siliwangi akan ditarik dari teritori mereka di Jawa Barat, bergeser ke Jawa Tengah. Tetapi beberapa kelompok pejuang tetap melanjutkan perjuangan mereka dengan gerilya, termasuk di antara mereka ialah Komarudin yang bersembunyi bersama sepasukan TNI di perbatasan Tasikmalaya-Garut, tepatnya di kawasan Gunung Dora.
Pada tengah malam, di rumah kecil tempat persembunyian mereka diserbu tentara Belanda dengan rentetan tembakan. Beberapa pejuang gugur termasuk tiga orang keturunan Jepang. Lima orang pejuang ditangkap, di antaranya adalah Komarudin, Abubakar, dan Usman bersama dengan komandan mereka, Djoeana Sasmita. Pada proses penangkapan tersebut, Soebardjo ditembak mati pasukan Belanda lantaran mencoba melarikan diri.
Di sepanjang perjalanan, pasukan Belanda membakar rumah-rumah yang dicurigai sebagai persembunyian pejuang. Rumah mana saja yang dicurigai ditentukan oleh seorang intel pribumi (dari desa Panyeredan) yang bekerja untuk tentara Belanda.
Pada bulan 1949, orang-orang yang tertangkap yaitu Abubakar, Komarudin, serta Usman dijatuhi hukuman mati di Garut. Sementara itu, Djoeana dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Ketiga pejuang Indonesia keturunan Korea dan Jepang itu dieksekusi mati dengan berbusana merah putih (baju putih dan sarung merah).
Jasad ketiganya dimakamkan di Taman Pahlawan Tenjolaya di Garut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar